KEPADA WAYANG TERANG POLITIK SOSIALIS
Wayang
merupakan salah satu prasasti atau bukti sejarah peninggalan para dedahulu
dalam aspek budaya, namun disamping itu wayang pun memiliki fungsi sebagai
hiburan, pendidikan, religius, sosial, dan politik. Bagaimana tidak? Terkait
dengan fungsinya yang terakhir, wayang dapat menjadi sarana komunikasi politik.
Dalam kehidupan sosial politik, para dalang mengemban dua fungsi utama, yaitu
menyampaikan pesan pemerintah kepada rakyatnya dan menyampaikan aspirasi rakyat
kepada pemerintah. Fungsi politik wayang dapat dilihat pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang. Wayang pernah dipentaskan untuk mengritik pemerintahan
kolonial Belanda melalui lakon “Pandawa Main Dadu”. Dalam lakon tersebut,
Pandawa diceritakan mengalami kekalahan dalam bermain dadu dengan Kurawa
sehingga Pandawa harus menerima hukuman selama 13 tahun di hutan Kamiyoko.
Dalam hal ini Kurawa merupakan simbol pemerintah kolonial Belanda, sedangkan
Pandawa merupakan simbol Soekarno, Hatta, dan pemimpin yang lain yang saat itu
dibuang ke Digul Irian Jaya. Sementara itu, pada zaman pemerintahan Jepang,
wayang digunakan sebagai alat propaganda politik.
Pemerintah
Jepang sering membayar para dalang untuk memainkan lakon dengan tujuan
menonjolkan citra baiknya, bukan hanya pada masa penjajahan, pada masa sesudah
kemerdekaan wayang juga dimanfaatkan sebagai propaganda partai politik. Pada
masa Soekarno, partai-partai sering menyimbolkan dirinya sebagai Pandawa. Pada
masa Orde Baru Soeharto, wayang sering digunakan sebagai propaganda partai,
terutama Golongan Karya Golkar sebagai mesin politik pemerintah. Selain sebagai
propaganda partainya, pementasan wayang pada masa ini juga dimanfaatkan untuk
propaganda pembangunan, misalnya pembangunan ekonomi dan keluarga berencana.
Wayang tidak saja hadir dalam dunia atau realitas politik. Akan tetapi, wayang
juga hadir dalam karya sastra untuk mengungkapkan masalah politik.
Selain pewayangan dari hikayat Pandawa ataupun Kurawa tadi, Punakawan pun tak kalah menonjol kearifannya dalam dinamika politik sosialis. Dalam kisahnya telah terjadi sebuah konflik sebab pernikahan anak-anak pemimpin yang harus menikah dengan status yang sama dan bukan dari anak lawan politik. Raden Abimayu menjadi tokoh yang merasakan permasalahan tersebut. Ia dilarang menjalin asmara dengan Dewi Lesmanawati karena kedudukan kekuaasaan. Selain itu, kedudukan juga membutakan orang untuk berbuat licik seperti yang dirasakan Bagong. Saat diajukan pertanyaan oleh Semar memilih kedudukan sebagai Adipati Jaya Pethakol atau kembali menjadi Punakawan, dan Bagong memilih kembalimenjadi seperti dulu Punakawan seperti kutipan berikut. “Ternyata menjadi seorang pemimpin malah banyak susahnya, banyak yang iri dan dengki, apalagi sepertinya ada rencana untuk menggulingkan kekuasaanku.”
Disamping
itu dituliskan pula pada kisahnya soal kesenjangan antara orang-orang yang bekerja
di istana dan rakyat jelata. Pada
bagian awal, penulis
menyajikan orang-orang
istana yang sibuk mengkayakan diri
dan tidak mengabdikan diri terjun langsung melihat
kondisi rakyat. Keresahan putra Amarta
yang berkeluh kesah kepada Semar
menambah kenyataan apa yang
dirasakan oleh Semar dan ketiga anaknya. Kemudian Semar menyampaikan petuah tentang keresahannya selama
ini karena perseteruan berkepanjangan akibat tidak
menghargai dan menghormati
dari perbedaan yang ada.
Orang yang
tidak saling mengenal meskipun dalam
satu lingkungan yang
sama seperti tetangga. Padahal
sebagai makhluk sosial, hidup
bermasyarakat sudah menjadi kebutuhan serta
kewajiban. Selain adanya hubungan timbal balik yang tanpa
disadari, seperti saat tertimpa musibah misalnya bila terjadi sesuatu
hal adalah tetangga.
Oleh sebab itu, setiap
lingkungan mayarakat memiliki
nilai, norma, dan tata aturan agar hubungan
bermasyarakat dapat terbina dengan baik
oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan mencerminkan praktek politik sosialis
yang terkandung dalam pewayangan, maka presiden sebagai dalang dan rakyat
sebagai wayang harus memiliki integritas yang kuat sehingga tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan ataupun pemberontakan rakyat. Sebagaimana yang
dikatakan oleh semar bahwa “hidup berkepemimpinan, maka pemimpin harus
berkehidupan sebab rakyat”
Tanjung, 2022
Komentar
Posting Komentar