Essai : “Menyilang Teka-Teki, Analogi Fakta dan Imajinasi”
Oleh : Ahmad Fatih Fridani Rizqi
Teka-teki ialah menggabungkan teka dan teki pada satu kata yang
abadi, dengan isu-isu yang tak sempat disampaikan dengan terbuka, berkedok
wacana, padahal substansinya adalah logika dan imajinasi. Pengambaran suatu
objek makin hari makin terbatasi oleh subjektivitas, yang pada akhirnya
mengedapankan intruksi daripada integritas pemikiran pribadi. Eka Kurniawan
begitu cerdas menggambarkan problematika tersebut, secara eksklusif pada
cerpennya yang berjudul “Teka Teki Silang”. Didalamnya
tergambarkan sosok Juwita sebagai pendobrak batas-batas penentuan suatu objek.
Mula Juwita percaya diri menempatkan diri di Muka kenyataan ataupun realita, Ia
tak hanya berani menebak bahkan berani menyatakan ketepatannya pada
pertanyaan-pertanyaan terkotakkan di Sebuah Koran.
Juwita menemukan
Koran berisikan kotak-kotak simbol teka dan teki tersebut, dibuang dan
diabaikan, Iba lah yang mengantarkan tangannya untuk mengambil Koran yang
terbengkalai tadi. Pertanyaan demi pertanyaan, berhasil Ia jawab dengan benar
dan tepat. Kelihaiannya dalam menjawab pertanyaan, terlihat jelas pada
kecurigaan asumsi yang Ia miliki pada setiap pertanyaan yang ia temui. Ia
menjawab hewan yang sering bertengkar dengan tikus, sebagai kucing dalam kolom berisikan enam kotak.
Kolom teka-teki berikutnya mengejutkan Juwita, membuatnya tak bisa tidur,
hingga tak tanggung-tanggung Ia singkirkan dari hadapan matanya. Dengan
kerelaan yang tinggi, Ia mengira Ia tak akan menemukan Koran itu lagi, dengan
anggapan tubuhnya sudah lenyap dilahap bak sampah. Tiada duga, yang Juwita
nyatakan pada kolom teka-teki di Koran itu, adalah yang Tuhan menjadikannya
nyata. Sumur adalah jawaban atas
pertanyaan di Koran, namun juga jawaban atas kematian seorang laki-laki
penggemar pembantunya sendiri.
Kerancuan yang terjadi pada cerita sesederhana teka teki silang tersebut,
tidak terlihat pada seberapa sulit dan membingungkannya pertanyaan yang
tertulis. Adanya korelasi antara pengisahan Juwita sebagai penebak teka-teki,
dengan Juwita sebagai penggambaran dari isi dan maksud yang ada pada teka-teki,
benar-benar mencurigakan. Setiap kata yang dituliskan pada kotak teka-teki itu,
bukan lagi ilustrasi ataupun imajinasi, realita dan kenyataan lah yang
setelahnya terjadi. Padahal koran hanyalah kertas, tiap tajuk adalah kisah,
kolom teka-teki tak lain adalah hiburan orang-orang bodoh yang mengaku pintar
semata.
Perumpamaan yang digambarkan oleh Eka Kurniawan dalam cerpen
tersebut, cenderung melibatkan kebergantungan fakta pada sebuah imajinasi.
Namun eksisteni pada apa yang dilakukan oleh Tokoh Juwita, tidak lagi
membicarakan soal imajinasi, asumsi, ataupun fakta sekalipun. Melainkan,
kesadaran pada tokoh dan penggambaran orang-orang terhadap si tokoh (pembaca).
Kesadaran jiwa merupakan bentuk objektivitas terpenting pada kehidupan yang
digambarkan pada sebuah karya sastra, sebab orientasi kesusastraan berperan
sebagai jendela bagi kejiwaan (Ahmadi, 2015).
Eka sengaja menempatkan kejiwaan sebagai kerdibilitas tertinggi pada
cerpen ini, dengan melibatkan beberapa aspek paradoks. Maka dari itu, Teori
Psikoanalisis seharusnya mampu dalam menjabarkan kritik-kritik sastra pada
cerpen berjudul Teka-Teki Silang tersebut. Secara fundamental, manusia adalah bentuk
kasar dari kelembutan jiwa yang digambarkan pada sebuah bentuk dan raga (Pradnyana et al., 2019). Ekpresi yang dituliskan didalam cerpen tersebut, mentitik beratkan
pada realitas sosial dengan aspek kecil,yaitu analogi teka-teki silang dengan
kasus-kasus factual yang dikisahkan. Pengalaman tokoh, berarti menggambarkan
keindahan atau dinamika kisah yang terjadi didalamnya (Made, 2014)
Juwita sebagai seorang
wanita cerdas, yang menghilangkan kebodohannya sebab mahir menjawab
pertanyaan-pertanyaan sederhana pada kolom teka-teki silang di Koran, adalah
bentuk penggambaran jiwa yang penuh keraguan. Siapa sangka kecurigaan Juwita
pada kejadian-kejadian tidak terduga, justru pada akhirnya Ia sendiri yang
mewujudkan kejadian tersebut. Ia takut bahwa orang yang hamil, sebagai Ibu. Padahal penggambaran Ibu yang
hamil, kemudian dibunuh adalah Ibunya sendiri. Maka seharusnya, karya sastra
sudah tidak lagi menggambarkan kejiwaan, melainkan juga kepribadian (Fajriyah et al., 2017)
Kesimpulannya adalah karya sastra bukan berrati hanya menggambarkan
suatu hal berdasarkan imajinasi ataupun fakta, meliankan secara psikologis
kejiwaan benar-benar ditekankan pada eksistensi dari adanya karya sastra itu
sendiri. Penglihatan para pembaca pada sebuah karya sastra, tidak sekadar
memahami bagaimana alur dari kisah yang dituliskan, melainkan juga
menitikberatkan pada status kejiwaan dari tiap-tiap tokoh yang ada. Maka dari
itu, psikoanalisis adalah apresiasi sastra paling efisien dan memiliki korelasi
yang tepat, apabila disandingkan dengan cerpen Teka-Teki Silang karya Eka Kurniawan ini. Sebab, pada dasarnya
sastra adalah bentuk representasi dari jiwa, kepada tokoh yang dihidupkan
didalam karya sastra itu sendiri (Ahmad, 2016)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. (2016). Psikologi Sastra (1st ed.). Uni
Press.
Ahmadi, A. (2015). Psikologi
Sastra. Unesa University Press.
Fajriyah, K., Mulawarman, W. G.,
& Rokhmansyah, A. (2017). Kepribadian Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Alisya
Karya Muhammad Makhdlori: Kajian Psikologi Sastra. Journal of Culture, Arts,
Literature, and Linguistics (CaLLs), 3(1), 1.
https://doi.org/10.30872/calls.v3i1.773
Made, S. (2014). BUKU TEORI
SASTRA.pdf (p. 201). UIN Sunan Ampel.
http://repo.mahadewa.ac.id/id/eprint/1430/1/BUKU TEORI SASTRA.pdf
Pradnyana, I. W. G., Artawan, G.,
& Sutama, I. M. (2019). Psikologi Tokoh dalam Novel Suti Karya Sapardi
Djoko Damono; Analisis Psikologi Sastra. Jurnal Imiah Universitas Pendidikan
Ganesha Denpasar, 3(3), 339–347.
Komentar
Posting Komentar