Essai : Analisa Dimensi Kehidupan Pada Novel “Kubah” Karya Ahmad Tohari
Oleh : Ahmad Fatih Fridani Rizqi
Bermula pada
sistem atau alur yang digunakan oleh Penulis pada novel berjudul “Kubah”, Ahmad
Tohari menerapkan pola certa dengan alur maju mundur. Karman sebagai tokoh
utama dalam novel tersebut, digambarkan sebagai sosok lelaki yang gagah dan
idealis. Karman kecil hidup dalam kondisi sosial yang bisa dikatakan dilematis,
besar di Masa pra-kemerdekaan tentu menjadi tantangan besar dalam kehidupannya.
Uniknya, plot yang tergambar pada bagian pertama novel tersebut adalah sosok
Karman yang sudah bukan anak kecil lagi.
Diawal cerita, Karman digambarkan sebagai seorang tahanan yang
telah menyelesaikan masa tahanannya selama dua belas tahun. Pada bagian ini,
jelas bahwa terdapat isu politik apabila berhubungan dengan tahanan dan mantan
tahanan. Singkatnya, Ia diasingkan jauh di sebuah pulau bernama Pulau Buru.
Selama dua belas tahun, Karman tak membersamai istri dan ketiga anaknya. Ia
tidak mengerti bagaimana keadaan keluargan, istri dan juga anak-anaknya. Pada
bagian ini, terlihat betapa dilematisnya sosok Karman sebagai seorang
laki-laki, dan sebagai seorang Ayah. Bisa digambarkan bahwa Karman adalah
korban dari kejamnya dunia politik, apalagi lingkungan dan masa kehidupannya
itu bertepatan pada masa pra kemerdekaan dan masa reformasi. Sistem
pemerintahan dan etensitas dari dunia politik, bisa digolongkan sangat kejam
dan berbahaya. Uniknya, Ahmad tidak spontan menjelaskan di awal cerita soal
politik apa yang sebenarnya digeluti oleh tokoh Karman. Para pembaca dibuatnya
penasaran dan curiga tentang bagaimana problem yang sebenarnya terjadi pada si
Karman.
Sebagai seorang suami, sekaligus seorang ayah, Karman benar-benar
terpukul dengan takdir yang Ia alami sejauh itu. Meninggalkan istri dan
anak-anaknya, bukan lah keputusan yang ringan dan akan pudar begitu saja. Marni
istrinya, bisa saja sudah melupakan Karman sebagai suaminya, dan anak-anaknya
bisa pula tidak ingin melihat sosok Ayahnya lagi. Kekhawatiran itu terjadi
setelah Marni mengirimkan surat kepada Karman tak lama sebelum Ia bebas sebagai
seorang tahanan. Selembar kertas berisikan tinta, dengan tulisan-tulisan penuh
rasan tak enak hati, Marni meminta restu pada Karman untuk menikah dengan
laki-laki lain. Terlihat didalamnya sebuah isu sosial pada ranah terkecil,
yaitu sebuah keluarga. “Melepas Marni,
bukan melepas hati dan jiwa, takkan pernah”. Ungkapan terakhir sebagai bentuk
keikhlasan Karman pada istri tercintanya, Marni.
Selain berlandaskan pada isu politik dan isu sosial, setidaknya
terlihat pula unsur-unsur spiritual dimana Karman pada hakikatnya adalah
seorang muslim, seorang hamba yang harusnya taat pada Tuhannya. “Sebelum datang kematian, setiap orang akan
mengalami satu di antara tiga cobaan; sulit mendapat rezeki, kesehatan yang
buruk, dan hilangnya orangorang terdekat. Yang kini sedang terjadi pada
dirimu, saya kira, adalah gabungan ketiga cobaan hidup itu. Luar biasa memang.
Namun apabila kamu percaya dan berserah diri kepada Tuhan, maka jalan keluar
se-lalu tersedia. Jadi, hanya kepercayaan terhadap kebesaran dan kasih sayang
Tuhanlah yang bisa membuat kamu tenang, tak merasa siasia”.
Perjalanan seorang Ateis dalam
mengembalikan jati dirinya sebagai seorang makhluk yang membutuhkan Khaliq atau Penciptanya, begitu
melelahkan bagi Karman. Tidak mudah bagi seorang yang telah mendapatkan doktrin
partai, mengembalikan ideologinya sebagi orang yang beriman dan taqwa. Perjalan
pulang si Karman ke Pagetan, adalah analogi pulangnya karman pada pelukan iman
dan taqwa.
Kemudian pada bagian selanjutnya, Ahmad juga menuaikan bagaimana
kisah pertama kali bertemunya Karman dengan Marni, bahkan dengan seorang gadis
sebelum Ia menikah dengan Marni. Didalamnya tergambarkan bahwa sosok Karman
hidup sebagaimana orang laki-laki lainnya hidup. Cinta dan kasih adalah obat
yang semua orang di Dunia pasti meminumnya, ibarat orang yang sakit. Maka dari
itu, ada flashback kecil yang menceritakan awal mula bertemunya Karman dengan
Mertua dari anaknya sendiri, yaitu Rifah. Akhirnya, isu novel tersebut, tidak
lagi membahas politik, keagamaan, dimensi sosial, dan lain sebagainya.
Melainkan, tidak sebegitu buruk cerita-cerita pendek dan dongeng anak kecil
soal kisah si Karman kecil.
Novel ini benar-benar menerapkan plot cerita yang ber-alur maju
mundur, dengan membenturkan isu satu kepada isu yang lain. Isu politik yang
membentur isu agama, kemudian dimensi sosial pada realita kehidupan seorang
suami, sekaligus seorang Ayah. Cinta, kasih, dan pengorbanan semuanya dibungkus
oleh Ahmad dengan begitu eloknya. Andai tak dibaca hingga akhir, orang akan
menilai bahwa Novel ini hanya sebatas novel yang mengangkat isu politik sahaja.
Uniknya Ahmad sengaja menggabungkan banyak isu didalamnya, sehingga mau tidak
mau para Pembaca harus menikmati kisahnya hingga akhir.
Coba kita renungkan dengan teliti, Karman bisa menjadi seorang
ateis sebab adanya doktrin-doktrin partai yang disiasati oleh Margo dan Triman.
Atas nama partai Partindo, siasat itu nyaris tidak terlihat oleh si Karman.
Bayangkan, betapa mulusnya pergerakan yang dijalankan oleh kedua kader partai
itu. Diangkatnya Karman sebagai salah satu dari staff kecamatan, Ia sama sekali
tidak menyadari siasat pengkaderan si Margo. Dendam, Amarah, Memori-memori yang
menyayat hati si Karman lah yang kemudian dimanfaatkan oleh Margo untuk
mendoktrin ajaran-ajaran partai pada Karman. Langkah demi langkah mereka
upayakan, hingga pada akhirnya Ideologi komunis benar-benar tertanam pada
Karman.
Doktrin keras yang disampaikan oleh Margo pada Karman, terlihat
jelas pada apa yang Ia ungkapkan melewati rahang-rahang telinga dan syaaraf
otak Karman, dengan menaikkan ingatan-ingatan luka Karman berikut; “Mereka, orangorang kaya, adalah kaum
peninda syang secara historis selalu mempertahankan kelestarian kelasnya.
Mereka tidak ingin seorang seperti engkau masuk ke dalam kalangan mereka.
Sadarlah kau sekarang, betapa jahat kaum tuan tanah itu”. Mengingat
Haji Bakir, adalah orang yang menggores hati si Karman sebab beberapa hal.
Dijodohkannya Rifa dengan orang lain, Tanah ayahnya yang diambil alih kuasanya,
menjadi luka besar dan awal mula doktrin iedologi berhasil masuk pada syaraf
pemikiran Karman.
Perubahan paham si
Karman itu, ditantang keras oleh Pamannya sendiri Hasyim seorang mantan anggota
Laskar Hisbullah, seorang pejuang kemerdekaan berlandaskan pada integritas
agama. Sewaktu-waktu Karman dan Hasyim pada suatu dialog, terjadi
perlawanan-perlawanan kecil pada dialektika keduanya. Diceritakan bahwa saat
Hasyim berada pada puncak amarahnya, Ia bangkit dengan badannya yang menggigil
menahan amarah. Keringat di dahinya, keringat di telapak tangannya, mata dan
seluruh wajahnya merah, seraya berucap;
”Misalkan aku masih menjadi Laskar
Hisbullah, misalkan masih ada bedil di tanganku, sebutir peluru cukup untuk
me-nutup mulut anak durhaka ini.” Namun, dengan kesadaran Hasyim, Ia
merendah, Ia teringat pada sebuah ayat yang berbunyi : berwasiatlah dalam
kebenaran dan ke-sabaran (Q.S Al-Asyr : 3). Setelah sadar bahwa ideologi
kemenakannya itu telah membulat, Ia tidak bisa apa-apa lagi. Hasyim pulang
dengan kesedihan yang begitu mendalam, Ia gagal menyadarkan kemenekannya untuk
kembali pada jalan yang benar. Sedangkan judul dari Novel tersebut,
mengatasnamakan ‘Kubah’ sebagai acuan alur cerita didalamnya. Lalu, dimana
letak korelasi antara kubah dengan dimensi kehidupan yang dibungkus oleh
berbagai isu tadi? Kubah berbentuk bulat, dengan satu komponen yang berbeda,
bentuknya yang lancip dan menjulang ke atas.
Dimensi kehidupan yang digambarkan pada kisah seorang ateis yang
menyelami banyak laut, banyak hiruk pikuk, kesedihan, kehilangan dan lain hal
sebagainya, tentu akan banyak pula sudut-sudut dimana seorang Karman dipandang
dan dinilai. Kembali pada kubah, bentuk utamanya yang bulat, mengambarkan
dimensi kehidupan dari berbagai aspek, seperti halnya isu sosial, politik,
spiritual, cinta, agama, ideologi, semuanya adalah kubah. Tergambar pada
bentuknya yang bulat, semua aspek tersebut berputar pada lingkaran yang sama,
yang pada akhirnya akan kembali kepada komponen kubah yang satu, kerucut
menjulang ke atas, sebagai analogi bahwa semua dimensi berujung kembali kepada
siapa yang menciptakan dimensi itu tadi, yaitu Konsep Ketuhanan.
Komentar
Posting Komentar