Perempuan Madura dan Surga di Genggaman Patriarki
Trilogi budaya Madura yang terdiri dari bhuppa’-bhabbu’, guru, ratoh merepresentasikan struktur sosial yang mengikat seorang perempuan khususnya Ibu, sebagai kelas tertinggi untuk dijaga kehormatannya. Apabila ditinjau secara historis, awalnya dahulu kala raja-raja Madura sangat memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap kaum perempuan. Akan tetapi, keadaan menjadi berbalik saat raja-raja setelahnya justru memposisikan laki-laki diatas perempuan. Hal tersebut terus berkembang dan bertahan sampai sekarang, sehingga di Madura perempuan harus berada dibawah kuasa laki-laki. Disamping itu, terdapat unsur religiusitas yang mengikat masyarakat madura bahwa seorang perempuan yang telah menikah, harus lebih taat terhadap suaminya dibandingkan dengan orang lain, bahkan orangtuanya sekalipun. Buruknya lagi, banyak konstruksi masyarakat yang melihat bahwa perempuan hanya dianggap sebagai keistimewaan reproduktif yang sejak kecil harus dijaga keperempuanannya dan diberikan kepada suaminya setelah menikah. Kebebasan perempuan madura, telah didominasi oleh kelompok-kelompok sosial yang terus melestarikan kuasa maskulin.
Dalam kasus lain juga banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan yang akhir-akhir ini seringkali menimpa kalangan remaja, khususnya mereka yang berada di lingkungan pendidikan. Kita bisa mengingat kembali, kasus pengasuh ponpes yang mencabuli santrinya sendiri di Daerah Bangkalan pada bulan oktober kemarin. Betapa kejamnya kuasa maskulin merenggut kebebasan dan keamanan seorang perempuan, apalagi pelakunya adalah seorang tokoh kiyai yang harusnya memiliki moralitas dan intelektual yang tinggi. Pada kasus tersebut, jelas tidak terlihat marwah seorang guru bahkan kredibilitas sebuah pesantren pun juga ikut dipertanyakan. Artinya, budaya patriarki yang awalnya membatasi hak-hak perempuan lambat laun akan terus termodifikasi untuk menghancurkan perempuan. Perempuan selalu didesak untuk patuh dan taat kepada laki-laki baik secara ikatan suami-istri, murid-guru atau pasangan dengan pasangan.
Akhir-akhir ini beredar berita yang menyedihkan dari gerbang pulau Madura, yaitu Kabupaten Bangkalan. Kasus pembakaran seorang mahasiswi yang dilakukan oleh pacarnya merupakan bentuk kekejaman kuasa maskulin, sampai berani merenggut nyawa seorang perempuan. Pelaku pembunuhan tersebut bermotif hanya lantaran korban meminta petanggungjawaban atas kehamilan yang diperbuat oleh pelaku. Hal ini menunjukkan betapa kuas maskulin bertindak semena-mena dan tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. Peristiwa semacam ini tidak akan pernah berhenti dan terus-menerus akan bermetamorfosis dengan bingkai-bingkai yang baru, terkecuali perempuan-perempuan madura tidak lagi terikat dengan konstruksi patriarkat. Surga bukan di tangan laki-laki, perempuan berhak mendapatkan kebebasannya sendiri. Kesetaraan tidak akan pernah terwujud, apabila kaum perempuan belum setara di kalangannya sendiri.
Komentar
Posting Komentar