Sastra Dalam Lingkup Pesantren

            Berbicara tentang sastra dalam ruang lingkup pesantren, bukan sekedar soal kehadiran suara komunitas sastra di pesantren saja, namun juga sebuah perbincangan tentang kreatifitas  para santri dalam berkebudayaan, misalnya saja tulisan Pego. Para santri telah terbiasa dan terlatih dalam menulis serta memaknai kitab dengan tulisan tersebut. Dengan kreatifitas para santri, mereka mampu mengubah tulisan yang awalnya merupakan huruf-huruf hijaiyah (Tulisan arab), menjadi sebuah karya tulisan yang di Indonesiakan. Sastra dalam lingkup pesantren sudah tidak diragukan lagi keberadaanya, apalagi banyak komunitas-komunitas sastra yang telah beroperasi di dalam pesantren. Tidak hanya itu, Gus Dur (cucu dari K.H Hasyim Asy’ari) pernah membuat esai ringkas yang berjudul “ Pesantren dalam kesusastraan bahasa Indonesia” yang dimuat di media Kompas edisi 26 November 1973.  Beliau berusaha untuk mengajukan teks-teks sastra di Indonesia yang bercerita tentang kehidupan di pesantren. Itu artinya, dalam bidang sastra pesantren tidak kalah saing dengan komunitas sastra yang berada diluar lingkup pesantr

                Tampilnya pesantren sebagai tempat pembudidayaan tradisi kesusastraan, menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi juga lembaga kehidupan dan kebudayaan. Pada abad 17 dan 18 pesantren menjadi tempat bagi para pujangga dan sastrawan menghasilkan karya-karya sastra. Pujangga-pujangga kraton, seperti Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita adalah santri-santri pesantren yang tekun mengembangkan karya-karya sastra dalam berbagai bentuk seperti kekawin, serat dan babad. Sumber inspirasi mereka bukan hanya kitab kuning, melainkan juga pengalaman yang mereka ambil dari sejarah bangsa ini sendiri sebagaimana dialami oleh kerajaan-kerajaan Hindu dan zaman Wali Songo.

            Sastra dalam lingkup pesantren tak lagi asing untuk kita dengar, apalagi pesantren berkontribusi dalam memperkaya bahasa-bahasa Nusantara dengan khazanah kosa kata dan istilah-istilah berkosmologi pesantren. Para santri tidak hanya belajar mengaji serta membina akhlaqul karimah saja, namun mereka juga dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra dan budaya. Mereka dididik untuk  bisa berbaur dengan orang lain serta berbicara dengan tutur kata yang baik dan sopan.

 Dalam sejarahnya, sastra dalam lingkup pesantren memiliki banyak kandungan, mulai dari cerita roman, sejarah, realitas sosial hingga mengandung cerita-cerita yang dipenuhi dengan tema-tema moralitas dan kepahlawanan. Biasanya, yang sering kita jumpai dari sastra dalam lingkup pesantren yaitu tentang beragamnya nilai-nilai kepesantrenan. Meski beragam, sastra dalam lingkup pesantren melukiskan kenyataan sosial, bahkan terkesan realis yang melibatkan tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya.

Seiring dengan pekembangan zaman, sastra dalam lingkup pesantren mulai beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Muncul sastrawan-sastrawan terkenal dari kalangan pesantren seperti K.H Ahmad Musthofa Bisri Syamsuri atau yang sering kita kenal dengan nama Gus Mus serta Emha Ainun Najib dengan sebutan lumrahnya yaitu Cak Nun. Mereka menjadi peran penting bagi para pemuda-pemudi Indonesia untuk tetap mencintai sastra dan budayanya sendiri. Bagaimana tidak ? Meskipun 75% pemuda-pemudi Indonesia lebih menyukai gadget ketimbang membaca buku. Gus Mus dan Cak Nun dengan cerdiknya memfilter kenyataan tersebut. Mereka menciptakan karya-karya sastranya lewat situs-situs online, mereka juga memberikan banyak materi atau pemahaman tentang sastra dan budaya.

Dengan munculnya tokoh-tokoh tersebut, maka sudah seharusnya hal itu menjadi motivasi bagi para santri untuk menciptakan karya-karyanya. Apalagi jika bukan motivasi? Dengan memandang mereka sebagai sari tauladan, serta mengambil sedikit pelajaran dari yang mereka alami, pastinya para santri bisa dengan mudah menciptakan karya-karyanya sendiri. Namun, ditengah era modern ini, Sastra dan budaya, seakan-akan hilang ditelan waktu. Banyak para pemuda yang lebih menyukai budaya asing ketimbang budaya bangsanya sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa di era modern ini, membuat video youtube terdengar lebih asik ketimbang membuat rangkaian puisi. Jangankan merangkai puisi, membaca buku pun terdengar kuno bagi pemuda di era modern ini.

Agar keberadaan kesusastraan dan kebudayaan tetap terjaga kelestariannya, maka pesantren dan santrinya lah yang bisa menjadi peran penting dalam hal tersebut. Pesantren harus membenahi kantong-kantong kesusastraanya. Misalnya, menghidupkan kembali diskusi-diskusi, mengutus santri-santrinya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang berbau kesusastraan, serta memfasilitasi jalannya kegiatan kesusastran. Sebab, selama ini kebanyakan santri masih gagap terhadap wacana-wacana baru yang berkembang di luar wilayah mereka. Biasanya santri mendapatkan jatah terakhir untuk menjumpai gagasan-gagasan atau karya baru yang di lahirkan oleh para sastrwan di luar lingkup pesantren.

            Seperti kisah Laila dan Majnun yang tidak pernah berhenti untuk saling mencintai, hingga mati pun ruh mereka tetap bercinta dan bersatu di alam lain dengan abadi. Maka sastra dan santri harus saling mengenal dan mencintai pula. Karena, apabila santri sudah benar-benar mencintai sastra, maka kelestarian dari sastra tidak bisa diragukan lagi. Pramoedya Ananta Toer seorang penulis terkenal di Indonesia pernah berkata “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian hanya tinggal hewan yang pandai.” Dengan memahami kalimat tersebut, kita tahu bahwa tanpa mencintai sastra, gelar sarjana apapun yang kita miliki akan tersasa hambar dan sia-sia.

Walaupun terasa berat, akan sangat mudah bagi santri jika terus berusaha dalam membuat karya-karyanya tanpa mengeluh ataupun merasa lelah. Gus Dur saja, pernah jatuh bangun ketika hendak menciptakan karyanya, bagaimana dengan kita? Meski harus mengalami banyak perjuangan dan pengorbanan, kesusastraan tidak akan pernah membuat kita kecewa. Karena menurut Andrea Hirata, sastra adalah muara dari segala kehidupan.

Oleh karena itu, sastra dalam lingkup pesantren harus bisa terbudidayakan oleh banyak khalayak, bukan hanya santriwan dan santriwati, para wali ataupun guru pun seharusnya  mendukung dan ikut serta dalam membudidayakan kesusastraan di dalam pesantren. Tidak hanya melestarikan, santri seharusnya bisa menyebar luaskan paham sastra dan budaya ke seluruh Indonesia, lebih-lebih ke seluruh dunia. Almarhum K.H Hasan abdul Wafi pernah berdawuh “Setiap sesuatu yang berat namun terlatih untuk dibiasakan, akan terasa nyaman dengan sendirinya.” Maka dari itu, jika para santri sudah terbiasa untuk terus menciptakan karya-karya sastranya, mereka takkan lagi merasa bosan untuk tetap membudidayakan kesusastraan.

 

 

 

 

 

 

Komentar

  1. Secara keseluruhan, pembahasan yg cukup menarik. Tapi mungkin bisa dipersempit lagi topiknya, karena isu-isu yg diangkat sudah lama menjadi pembahasan banyak orang.
    Anda menggunakan kata "pembudidayaan" kan!? Seolah-olah pesantren akan menjual santrinya kelak

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer